TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN-NYA

ALOR DULU DAN SEKARANG




Pigafetta mencatat, bahwa pada 9 sampai 25 Januari 1522, pulau Alor-Pantar dikunjungi oleh kapal Victoria, yakni sisa terakhir dari armada Magellan. Tentang Alor, Antonio Pigafetta menulis : Penduduk pulau ini buas seperti hewan dan makan daging manusia. Mereka tidak mempunyai raja dan tidak berpakaian. Mereka hanya memakai kulit kayu, kecuali kalau pergi ke medan perang (A.D.M.Parera : 1994).
Antonio Pigafetta melanjutkan, Untuk mempertahankan dan memperkuat diri dari muka, belakang, sisi kiri dan kanan, mereka memakai kulit kerbau yang dihiasi dengan kulit-kulit siput, taring babi dan buntut kulit kambing terikat pada muka dan belakang. Rambut mereka diberkas tinggi ke atas dengan memakasi semacam batang rumput panjang yang ditusuknya dari sisi ke sisi. Janggut mereka dibungkus dengan daun dimasukkan ke dalam batang bambu. Sungguh lucu.



“Mereka adalah bangsa terburuk di bagian India,” tulis Pigafetta. Busur dan anak panah mereka terbuat dari bambu. Mereka membuat semacam kantong yang dianyam dari daun-daun bambu sebagai tempat menyimpan makanan dan minuman untuk dibawa oleh kaum wanita. Ketika mereka melihat kami, mereka menyongsong kami dengan anak panah, tetapi setelah kami memberikan mereka beberapa hadiah, mereka lalu menjadi sahabat kami.

Kami tinggal di sini selama dua minggu untuk memperbaiki kapal kami. Di pulau itu terdapat ayam, kambing, kelapa, lilin, yang diberikan sebanyak 15 pond kepada kami untuk ditukar dengan sekarat besi tua, dan Lombok yang buahnya panjang itu menyerupai bunga dari “hazelnood”. Pohonnya melata dan melekat pada pohon lain, daunnya menyerupai daun muras (murbei) dan dinamakan luli. Lombok yang buahnya bundar, melata juga tetapi mempunyai mayang seperti gandum Indian, dan buahnya digaruk keluar dan dinamakan lada.

Ladang-ladang di Alor-Pantar penuh dengan jenis Lombok yang terakhir ini ditanam dengan berjalur. Kami menangkap satu laik-laki dari wilayah ini untuk jadi pemandu bagi kami ke pulau-pulau lainnya, di mana kami bias mendapat bahan makanan. Itulah keadaan Alor tempo doeloe yang direkam oleh Antonio Pigafetta ketika kapal Victoria sisa armada Ferdinand Magellan membuang sauh di Alor, pada 488 tahun (1522-2010).

Sejarah mencatat bahwa kekuasaan Portugis di Alor hanya terbatas pada pengibaran bendera Portugis pada beberapa daerah pesisir. Misalnya, di Kui, Mataru, Batulolong, Kolana, dan Blagar. Begitu pula dengan Belanda pada awal menduduki Alor, hanya terbatas pada pengakuan atas penguasa-penguasa yang berada di pesisir sebagai raja-raja dan pada penempatan seorang Posthouder di Alor Kecil yang terlepat tepat di pintu teluk Kabola pada tahun 1861.

Menurut catatan Posthouder Morgersten tanggal 3 Juli 1909 (Doko : 1981), penduduk di pegunungan itu tidak mengakui mereka sebagai raja. Tetapi hanya sebagai pengantara dalam perdagangan barter atau sebagai penterjemah antara mereka dengan Belanda.

Dalam seputar 1910 -1916, Belanda begitu banyak mendapat tantangan dari rakyat Alor-Pantar. Kerajaan-kerajaan yang terkenal yang tak kurang membuat pusing Belanda seperti Kerajaan Bunga Bali, Kerajaan Kui, Kerajaan Kolana, Kerajaan Pureman, Kerajaan Mataru, Kerajaan Batulolong, Kerajaan Baranusa, Kerajaan Pandai, dan Kerajaan Blagar. Namun, Belanda dengan pisau devide et impera dan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) berhasil menaklukkan para raja tersebut. Mereka tunduk bersujud di bawah kaki bangsa penjajah dan mengakui Belanda sebagai penguasa atas bumi, tanah dan air Alor. Belanda juga membonsai jumlah kerajaan dari 9 kerajaan menjadi hanya 4 kerajaan. Yaitu : Kerajaan Kui, Kerajaan Alor Pantar, Kerajaan Kolana, dan Kerajaan Batulolong. Dengan demikian, Belanda akan semakin mudah melaksanakan pemerintahannya terlebih dalam pengawasan.

Masa ini masa feodal. Raja masih jadi “dewa”. Pemegang capital adalah raja dan staf di sekitarnya. Sementara rakyat jelata tetap pada predikatnya sebagai buruh kasar tanpa upah sepeser pun. Kerajaan-kerajaan tersebut mengikatkan diri pada Korte Verklaring. Ketentuan itu diikat dan diatur dalam Zelfbestuur regelen 1938 (Stadblaad 1938 No.529, yang karenanya keempat kerajaan itu (Kerajaan Kui, Kerajaan Alor Pantar, Kerajaan Kolana, Kerajaan Batulolong) digabung dalam satu wilayah pemerintahan yang bersifat lokal dengan nama Onderafdelling Alor-Pantar, yang merupakan satu struktur pemerintahan sebutan (Plaatselyke bestuur), dipimpin oleh seorang pamong praja Belanda (European Bestuur) yang disebut Controleur.

Onderafdelling Alor-Pantar secara resmi ditetapkan dengan Staatblaad (lembaran negara) 1929 No.196, berada dahulu sebagian di bawah kekuasaan Portugis dan baru sejak 6 Agustus 1851 dimasukkan seluruhnya ke dalam kekuasaan Belanda.

Yang dapat dicatat sebagai satu-satunya hal yang menjadi penawar pada masa pemewrintahan Hindia Belnda di Alor adalah masuknya para misionaris gereja menyebarkan agama Kristen, sebuah langkah awal menata mental dan akhlak kaum pribumi. Para misionaris gereja juga membuka sekolah rakyat, maka lahirlah sekolah rakyat (Volksscholl) di Kalabahi (5 Mei 1911), Kolana (1 Agustus 1911), Blangmerang (12 Agustus 1911), dan Biakbuku (1912). Menyusul Probur I (1916), Adang (29 Oktober 1917), Langkuru (11 Juni 1917), Kabir I (1 Januari 1917). Kemudian pada 1922dibuka sekolah rakyat di Silaipui, Gendok, Kiraman, Takala, Taramana, Pida, dan Kolondama. Pada tahun 1923 sekolah rakyat Limarahing (1 Nopember 1923), Moru (1923), Kabola (20 Oktober 1923), Peitoko (1 Agustus 1928), Kelaisi (1929), Bagalbui (1930), Lantoka (1930), Naumang (1 Juni 1932), Ternate (22 Januari 1932), Topbang (1 Agustus 1936), Waisika (1 Agustus 1938), Fami (1Agustus 1939), Ruilak ( 1 Agustus 1939), sungguh mulai menerangi mental hidup dan kehidupan anak negeri dari masa silam nan gelap. Begitu pula pengaruh positif oleh lahirnya sekolah-sekolah lainnya dari tahun 1942-1968, tak kurang dari 46 sekolah Kristen di seluruh Alor-Pantar.

Meski sekolah rakyat yang dibangun oleh Belanda begitu banyak tapi tak banyak m,enolong kaum pribumi menikmati pendidikan. Sebab, hanya segelintir orang yang bermampu atau anak-anak keluarega bangsawan yang bias bersekolah. Selebihnya, buta huruf!

Sampai dengan Belanda angkat kaki dari bumi Alor, kota Kalabahi sebagai pusat pemerintahan dan politik masa itu masih seperti sebuah kampong. Tak ada jalan beraspal, dan listrik. Hanya ada beberapa buah rumah rakyat dan sedikit toko pedagang Tionghoa, rumah sakit. Bangunan milik pemerintah yang terbilang modern ialah rumah dinas jabatan Controleur Belanda (sekarang rumah jabatan dinas Bupati Alor), dan kantor Controleur (sekarang kantor dinas Pariwisata), yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah jabatan Controleur.

Seperti tunas yang baru tumbuh ke permukaan, langsung dihantam badai hama. Itulah yang kiranya dapat dimisalkan pada fenomena bidang pendidikan. Karena justru pada putaran masa itulah dunia pendidikan semakin dilihat sebagai wadah jitu mendidik dan menbuat pintar rakyat jelata. Alor sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tengah dalam percaturan politik internasional. Sebuah tikung ujian maha berat memproklamirkan kemerdekaan, pada 17 Agustus 1945.

Menjelang penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), tahun 1948-1950, Pemerintah Republik Indonesia yang pertama di Alor dijabat oleh Ludgerus Poluan sebagai Utusan Pemerintah Daerah (UPD)yang kemudian diganti menjadi Kepala Pemerintahan Setempat (KPS). Setelah penyerahan kedaulatan, KPS Alor dijabat oleh Hendrik Rihi Kanadjara(1950-1951), J.M.Tawa (1951-1954), Imanuel Litamahuputi (1954- 30 September 1958), Johan Hendrik Ahab (30 September 1958-18 Desember 1958), dan Hendrik Soleman Giri (18 Desember 1958-1959), dan Syarif Abdullah (1959- 1960).

Peristiwa yang sangat bersejarah adalah bahwa berdasarkan Undang-Undang No.69 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No.122) Tentang pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), maka secara resmi terbentuklah Kabupaten Alor, pada 20 Desember 1958. Saat yang bertepatan dengan pelantikan Pejabat Sementara Kepala Daerah Tingkat I NTT oleh Gubernur Koordinator Pemerintahan Nusa Tenggara di Kupang.

Dengan terbentuknya Kabupaten Alor, maka Syarif Abdullah ditetapkan sebagai Pejabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Tk.II Alor. Tidak banyak hal yang dilakukan oleh Syarif Abdullah dalam masaa jabatannya yang begitu singkat. Apalagi kondisi sosial politik masyarakat yang belum memungkinkan, masih terpilah-pilah dalam ikatan primordial sebagai warisan sistim kemasyarakatan lama yang dikendalikan oleh para raja. Namun, begitu, Syarif Abdullah tetap dikenang sebagai tokoh peletak dasar sistim pemerintahan modern di Alor.

Pembangunan sarana dan prasarana baru dimulai pada masa bupati John Bastian Denu (1960-1962) dan Umbu Marthinus Dikky Tarapanjang (1963-1967). Pembangunan sarana dan prasarana tersebutbaru menjangkau klota-kota kecamatan terdekat dengan Kalabahi, ibukota Alor. Barulah pada masa kepemimpinan bupati Jacob Octovianus Ledoh, BA (1967-1972) pembukaan jalur transportasi darat menuju daerah pedalaman mulai dilakukan.

Dari masa jabatan John bastian Denu sampai dengan Umbu Mathinus Dikky Tarapanjang, yang dapat dicatat ialah, seperti sekelompok manusia dari keempat kerajaan utama di Alor, yang baru mempunyai “rumah tangga sendiri” tetapi berlum banyak ditata, terutama karena rongrongan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI tidak hanya membabak-beluri kehidupan nasional, tetapi juga menyejarah daerah-daerah, termasuk Alor. Dalam suatu lingkup kehidupan masyarakat yang agraris tradisional yang pasif, dengan mental yangh sepenuhnya pasrah, PKI dengan enteng menjalankan pengaruhnya secara mengakar serabut. Suatu tantangan berat bagi Umbu marthinus Dikky.

Sebuah rumah tangga Alor yang bernasib bagai di tengah badai. Beberapa langkah awal menata “rumah tangga baru” Alor, hancur berantakan. Sikap mental masyarakat kembali sepenuhnya ke titik nadir. Pasif dengan kecurigaan terhadap sesuatu yang baru dating dari luar, beku, kaku, tertutup. Dalam rumusan nasuional, masa seputar 1950-1965 dilabel sebagai masa Orde Lama, yang berakhir dengan meninggalkan kehancuran-keberantakan di berbagai aspek kehidupan anak negeri di Indonesia.

PKI dengan nafas politik Nasakom-nya pernah lahir secara legal, kemudian membabak beluri Negara Republik Indonesia. Dengan meletusnya G30S/PKI di tahun 1965, secara resmi pula PKI dibumi hanguskan dari bumi Republik Indonesia. Ulah PKI yang merongrong Indonesia di saat itu, secara khusus pula merongrong hidup dan kehidupan di bumi Alor. Banyak rakyat yang tak begitu paham soal A-B-C Nasakomisasi, akhirnya harus puas dengan labal klasifikasi oleh Pemerintah sebagai Golongan C.

Perkembangan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, baik darat, luat dan udara, mulai mengalami kemajuan berarti pada masa kepemimpinan bupati Drs. Umbu Pekudjawang (1978-1984). Dalam masa ini, transportasi antar pulau dalam kabupaten Alor mulai lancer. Bupati Drs. Jack Djobo adalah putera Alor pertama yang duduk di pucuk pemerintahan di Kabupaten Alor. Melalui program Panca Krida Kabupaten Alor, Jack Djobo sukses membawa Alor selangkah lebih maju.

Kemudian tongkat estafet kepemimpinan diteruskan oleh bupati Teddy Sutedjo (1984-1989) ditandai dengan roda pemerintahan yang semakin baik, lancar,dan efektif. Dengan melanjutkan Panca Krida kabupaten Alor, Teddy Sutedjo mulai membangun transportasi darat hingga menjangkau kota kecamatan dan desa, terutama ke kantong-kantong produksi. Panca program meliputi Terasering, Tanaman Perdagangan, Gizi, Kertrampilan dan Pemukiman. Kemudian tampil bupati Drs. Hosea Dally (1989-1999)menambah dua krida baru pada Panca Krida sehingga menjadi Sapta Krida serta melaksanakan Operasi Peningkatan Gabah (Opnigah) guna memperkuat ketahanan pangan masyarakat dalam membangunan daerahnya.

Kemudian tongkat estafet kepemimpinan bupati Alor dilanjutkan oleh Ir. Ans Takalapeta (1999-2009). Pada masa ini Ansgerius Takalapeta menggulirkan Program Gerakan Kembali ke Desa dan Pertanian). Program Gerbadestan ini dinilai pemerintah pusat (Jakarta) sangat strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Jadi wajar jika bupati Ansgerius Takalapeta dianugerahi Piagam dan Tanda Penghargaan Satya Lencana Pembangunan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

REFERENSI

SEJARAH ALOR




Pada masa kontroler Bouman, beberapa pegawai pemerintah Belanda didatangkan. Upaya-upaya mengkristenkan para penganut animismepun mulai dilakukan.
Baptisan pertama dilakukan pada tahun 1908 di Pantai Dulolong, ketika seorang pendeta berkebangsaan Jerman, DS William Bach, tiba dengan sebuah kapal Belanda bernama Canokus, yang oleh orang Alor di zaman itu disebut dengan Kapal Putih.
Di antara mereka yang dibaptis terdapat Lambertus Moata dan Umar Watang Nampira, seorang penganut Islam yang taat. Lambertus Moata kemudian menjadi Pendeta Pribumi Alor yang pertama, sedangkan Umar Watang Nampira barangkali bersedia dibaptis untuk menghormati para pengunjung pada saat itu. Gereja pertama yang dibangun adalah Gereja Kalabahi (sekarang Gereja Pola). Gereja ini dibangun pada tahun 1912. Kayu-kayunya didatangkan dari Kalimantan, sedangkan pekerjanya adalah Pak Kamis dan Pak Jawas yang beragama muslim. Oleh karena itu, sampai saat ini masih merupakan sesuatu yang umum dilakukan di Alor bahwa pembangunan gereja dilakukan oleh orang Muslim dan Mesjid dilakukan oleh orang Kristen. Pada masa ini Alor terdiri dari lima kerajaan, yaitu Kui, Batulolong, Kolana, Baranusa dan Alor. Kerajaan Alor wilayahnya meliputi seluruh jasirah Kabola (bagian utara pulau Alor).
***



PADA tahun 1912 terjadi pengalihan kekuasaan raja dari dinasti Tulimau di Alor Besar kepada dinasti Nampira di Dulolong. Pemerintah kolonial Belanda lebih cenderung memilih Nampira Bukang menjadi Raja Alor sebab beliau berpendidikan dan fasih berbahasa Belanda. Sebagai kompensasi, putra mahkota Tulimau ditunjuk sebagai kapitan Lembur.
Pengalihan kekuasaan ini menyebabkan terjadinya beberapa pemberontakan, namun dapat diredam dengan bantuan Belanda, sehingga sehingga secara tidak langsung pengalihan kekuasaan ini telah menjadi bibit salah satu lembaran hitam sejarah Alor dengan terbunuhnya Bala Nampira.
Pada tahun 1915-1918, Bala Nampira menjadi raja menggantikan ayahnya dan pada tahum 1918 beliau mati terbunuh di Atengmelang. Penyebab terbunuhnya raja ini masih diperdebatkan sampai saat ini dan kadang-kadang dapat membangkitkan amarah di antara sesama orang Alor.
Diyakini bahwa anggota-anggota Galiau Watang Lema menganggap pergantian raja sebagai sebuah pelanggaran yang amat berat dalam aliansi mereka oleh karena sekutu dan saudara mereka telah dipermalukan.
Sementara itu, di Abui timbul rasa tidak puas dikalangan bangsawan oleh karena mereka diharuskan takluk kepada Pemerintahan Raja Nampira. Beberapa anggota Galiau Watang Lema yang tidak puas dengan pengalihan kekuasaan raja itu menjanjikan sebuah moko yang bernilai tinggi kepada seorang wanita dari Manet bernama Malailehi apabila dapat membunuh Raja Nampira. Dengan cara ini mereka berniat mengembalikan takhta Bungan Bali ke Alor Besar.
***
UNTUK memulihkan hukum dan pemerintahannya di Alor, maka Pemerintah Kolonial Belanda, melalui kontroler Mr. Muller menggunakan strategi yang ampuh, yaitu dengan mengawinkan Putra Nampira dengan Putri Bunga Bali dan berhasil dengan baik karena perdamaian pun tercipta pada saat itu. Pada tahun 1930-an, Pemerintah Kolonial Belanda mulai melakukan pembangunan wilayah. Para istri pegawai pemerintah dikirim ke Alor. Kerja sama dengan lima kerajaan relatif baik. Sepanjang jalan utama di tengah kota, rumah-rumah pegawai Pemerintah Kolonial dibangun. Beberapa di antaranya masih dipakai hingga kini. Jalan-jalan dibangun ke segala arah, bahkan saluran air pun dibangun, namun hanya untuk kebutuhan rumah sakit dan pegawai Kolonial Belanda.
Setelah sempat dijajah Jepang dalam Perang Dunia II, kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan. Walau demikian di Alor masih terdapat orang asing. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, sejumlah orang anti wajib militer dan misionaris datang ke Alor dan bekerja sebagai pendeta, perawat bahkan dokter. Di antara mereka terdapat suami-istri Dokter De Jong yang bekerja di Rumah Sakit Umum Kalabahi. Dalam bukunya Brieven aan Alor (Surat-surat ke Alor), Dokter De Jong menceritakan tentang pengalamannya bekerja di Alor. Menurut cerita orang Alor, ada salah satu dokter dari Jerman, Dokter Kleven memberi nama Loni kepada putrinya sesuai kata Balalonikai dalam sebuah lagu lego-lego yang terkenal yaitu Lendolo. REFERENSI

KALABAHI ALOR MUST BE PEACE

Saat berkunjung ke sebuah forum diskusi, aku jadi teringat Alor ku,,, ya, Alor, tempat ku dilahirkan dan dibesarkan. disana aku belajar akan banyak hal dan akan kembali untuk melakukan banyak hal untuk Alor ku...






Tawuran dan aktifitas kekerasan masih berlangsung hingga saat ini, hal ini membuat keindahan dan potensi sumber daya yang tersedia seolah hilang dengan kelam-nya tindakan tersebut....

dari situs :
">Republika aku membca sebuah tragedi tawuran antara Masyarakat Wetabua dan Bunga Waru, Dalam tawuran itu, para perusuh menggunakan batu dan anak panah untuk saling melempar dan saling memanah sehingga menimbulkan korban jiwa di antara kedua belah pihak.

Seorang pemuda setempat, Iwan Holo, anak salah seorang Ketua RT di kawasan Bunga Waru Kalabahi terkapar diterjang anak panah di bagian pinggul sebelah kiri.

Korban langsung dilarikan ke RSUD Kalabahi untuk mendapat perawatan sekaligus mencabut anak panah yang masih tertancap di tulang pinggulnya.

Hery, seorang pemuda lainnya mengalami luka serius di pelipis kanan terkena lemparan batu.

Melihat situasi semakin mencekam, Polres Alor meminta bantuan keamanan dari Kodim 1622/Alor. Komandan Kodim 1622/Alor, Letkol (Kav) Syiachrical E Siregar terjun langsung memimpin anak buahnya untuk membantu aparat Polres Alor yang tengah dalam ancaman serangan pemuda dari Kelurahan Wetabua itu. Situasi berhasil dikendalikan ketika aparat Kodim Alor diterjunkan ke daerah kerusuhan.

...........

Dari Berita yang Lain, di situs Ombays News juga menuliskan tentang kekerasan yang lain, yang sampai menelan korban.

Mohammad Syamsul, siswa MAN Kalabahi, tewas tertancap panah di atas mata kanannya saat terjadi bentrok antar warga Desa Alor Kecil dan Desa Dulolong di Kecamatan Alor Barat Laut, Minggu (4/7/2010)silam. Korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kalabahi setelah dirawat di Puskesmas Alor Kecil.

.........

Semoga dengan semua kejadian yang telah terjadi, kita bisa mengambil hikmahnya dan semakin lebih bisa saling menghargai dan menjaga perdamaian,, demi kemajuan alor tercinta... Bravo ALOR Kalabahai NTT

smadav antivirus indonesiaFREE EBOOK